Digital Marketer | Web Design | Graphic Design

Cerpen | Perempuan Yang Kuminta Dari Tuhan

“Perempuan yang kuminta dari Tuhan”

24 Februari 2016.

Pagi di sebuah rumah adat sunda Parahu Kumureb di pinggiran kota Cianjur. Rumah itu adalah tempat tinggal sahabatku Aceng beserta Bapak dan Ibunya. Pemandangannya sangat asri. Disamping kanannya tumbuh berbagai pohon besar yang aku pun tak tahu nama-namanya. Sebelah kiri rumah ada sebuah saung yang berdiri diatas sungai kecil dengan air yang cukup deras mengalir. Air di sungai itu sangat jernih dan bersih, tentu saja berbeda sekali dengan kebanyakan sungai di kota. Di belakang rumah ditanami ketela pohon dengan daun-daunnya yang gomplok rimbun berumpak-umpak. Pekarangan depan berjejer rapi pot yang diisi berbagai jenis tanaman yang biasa dijadikan obat. Ginseng, Kumis Kucing, Sirih, Lidah Buaya, Patrawali, Daun Saga dan beberapa jenis lain yang tidak kukenal.

Semalam kami baru tiba dari Jakarta. Aceng yang sudah sangat merindukan kedua orang tuanya mengajakku untuk mengunjunginya. Kami berdua memang sudah sangat dekat. Orang tuaku adalah orang tuanya. Begitupun sebaliknya. Persahabatan yang telah kami bina sejak SMA 8 Tahun yang lalu membuat kami sudah seperti keluarga. Aku menyetujui ajakannya sekalian memang aku berencana untuk menghadiri pernikahan salah satu sahabatku di Kota Garut. Pun aku juga memang punya janji untuk bertemu seseorang di Bandung.

Ibunya Aceng membuatkan kami kopi dan singkong goreng yang dipanennya dari belakang rumah.  Ah, bicara tentang kopi ini merupakan salah satu minuman kebanggan lelaki. Sarapan terbaik para lelaki ya secangkir kopi. Terlebih menikmatinya dengan Singkong goreng yang baru saja dipanen itu sungguh nikmat yang luar biasa. Suasana pedesaan, riak air di sungai, kicauan burung-burung liar menambah syahdu pagi yang menakjubkan ini.

“Mau ngapain Cok ke Bandung dulu?” Aceng membuka pembicaran kami pagi itu setelah ia menyesap kopi buatan Ibunda tercinta.

“Mau ketemu teman Ceng. Kita mau rekanan bisnis hand craft. Kemarin udah riset pangsa pasar, ya mudah-mudahan jadi peluang yang bagus.”

“Ya sudah, berangkat jam berapa?”

“Jam 9 lah ya, mandi dulu, sarapan dulu. Sekalian bilang sama Mama.”

Kami berdua bersiap-siap. Jarak dari Cianjur ke Bandung lewat jalur Padalarang sekitar 2 jam. Setelah berpamitan kami pun berangkat. Kami memang sudah terbiasa bepergian ke berbagai daerah untuk mengunjungi beberapa teman. Baik itu temanku ataupun temannya Aceng. Terkadang kami berkunjung karena ada keperluan bisnis atau hanya sekedar temu kangen.

Berangkatlah kami pukul 9 lewat 11 menit Waktu Indonesia Bagian Cianjur. Di perjalanan kami berdua meracau tentang masa depan dan tentang semua hal yang menjadi kekhawatiran para remaja pada umumnya. Tentang cinta, tentang kehidupan yang sempurna bersama seorang istri yang luar biasa dan anak-anak yang tumbuh dengan baik, tentang perjalanan karir, dan apapun kami bicarakan.

“Kau tahu Ceng? Semua kekhawatiran yang kita rasakan sekarang hanya akan jadi bahan tertawa kita kelak saat menceritakan ulang kisah kita sekarang. Trust me!”

Tanpa mengalihkan pandangan kedepan Aceng dibalik kemudi menganggukan kepala tanda setuju. “Tapi tetap saja Cok kadang membuat kita cemas.” Timpalnya.

Yes, precisely that, we have to stimulate ours brain. Kau tahu Ceng cara kerja otak itu bergantung pada filter konsep yang terbentuk. Dan kita bisa membentuknya. Selama filter konsep kita baik, Stimulus apapun yang masuk ke otak akan diolah dengan baik. Termasuk kekhawatiran kita akan masa depan. Memang kadang mencemaskan mengingat sudah hampir separuh baya kita masih begini saja. Jangankan kehidupan yang sempurna. Masalah percintaan saja kita selalu gagal”.

“Katreusna, Upps” Aceng buru-buru mengatupkan mulutnya.

Damn you Ceng, I’m serious.” Aku menonjok pelan lengannya yang tetap berada diatas kemudi.

Katreusna, ah sudahlah sebaiknya tidak kuceritakan tentangnya. Dia adalah masalalu suram yang pernah merusak persahabatan kami beberapa tahun silam. Seorang yang pernah membuat kami berdua seperti orang yang tidak saling kenal. Ah betapa bodohnya kami saat itu.

Ingin kuteriak, Hatiku melara

Kalau memang begini maumu

Untuk apa semua kata

Kau titip di hatiku….

Aceng mengalihkan pembicaraan dengan melafalkan lirik lagu Inka yang sedang diputar. Aku pun mengikutinya dengan khas suara sopran pada bagian Reff.

Disekitar daerah pasar Ciranjang, ponsel ku berbunyi. Segera aku mengeceknya. Beberapa pesan dari seorang yang kontaknya kuberi nama ‘Icha’

“Bang maaf, aku pulang tadi pagi.”

“Jadi nggak bisa ketemu di dekat kampus”

“Kalau mau Abang kerumah saja.”

Aku tak segera membalasnya. Buru-buru kuminta pendapat Aceng. “Gimana ini Ceng?”

“Ya bagus lah Cok. Sekalian kenalan sama Bapaknya. Cok, lelaki gentle itu gak sembunyi-sembunyi nemuin anak gadis orang. Tapi berani bertemu didepan Bapaknya!”

Aku bergumam mengangguk tanda setuju. Segera kubalas pesan nya. “Oh, ya sudah kirim alamatnya de.”

Selang beberapa menit barulah Icha membalas pesanku dan menyisipkan alamat rumahnya.

“Ceng, ganti tujuan. Nggak jadi ke Ujung Berung. Kita ke Soreang.”

“Oke, masuk Tol Padalarang aja ya, keluar Kopo.”

Whatever is faster!” Jawabku.

Aceng menambah kecepatan, meliuk-liuk melewati gunung-gunung batu yang menjulang dan dikeruk eskavator-eskavator raksasa di kana dan kiri di sepanjang jalan. Lagu yang diputar masih lagu klasik yaitu ‘Bianglala’ yang dibawakan oleh rocker peremuan ‘Mel Shandy’. Kami berdua sama-sama melafalkan lirik lagu itu. Berteriak-teriak seperti orang gila. Tapi memang bagi kami Indonesian Lady Rock punya tempat tersendiri dihati kami. Mungkin akan jarang sekali ditemukan anak-anak muda seumuran kami yang mengenal lagu-lagu dari Inka, Mel Shandy, Conny Dio dan tentu saja sang fenomenal Teh Nikeu. Sepanjang jalan kami terus bernyanyi.

Malam pun kelam seperti mengerti

Dua hati gagal bersatu

Sunyi disini menjadi saksi

Dari perpisahan kita

Anak manusia tertunduk pilu

Atas duka yang ada.

_Conny Dio – Bulan Merah_

Alunan lagu Conny Dio yang bertajuk Bulan Merah membawa kami menjelajahi masalalu. Dan Aceng adalah saksi bahwa aku pernah benar-benar patah hati. Lagu yang baru saja diputar benar-benar merepresentasikan betapa merahnya bulan yang pernah aku lalui.

Aku mengecilkan volume pemutar lagu. Sedangkan Aceng tetap fokus mengemudi. “Kau ingat Laila Ceng?”

“Bagaimana aku bisa lupa Cok? Satu-satunya perempuan yang bisa membuatmu menangis.” Aceng tertawa terbahak. “Aku ingat betul kau menelponku. Hanya tangis yang kudengar. Sayangnya aku tak bisa melihat raut wajahmu. Ah, pasti sangat menyedihkan sekaligus menggelikan.”

Kami berdua tertawa terbahak mengingat kejadian itu. Hal konyol yang pernah membuatku menangis itu jadi bahan tertawaan kami.

“Lagu ini cocok banget Ceng.” Aku membesarkan kembali volume pemutar musik dan melafalkan lirik mengikuti perempuan rocker itu.

 Aku punya kekasih dari sebrang yang bernama Laila. Sebenarnya dia masih famili. Ibunya adalah kakak sepupuku. Saking jauhnya kami memang tak pernah bertemu sekalipun. Pertama kali aku bertemu dengannya ketika hari Raya tiga tahun lalu di kampung. Itu adalah kali pertama dia pulang ke kampung. Wajahnya sangat mirip dengan Mama sewaktu muda. Ya, bagaimanapun juga kami masih satu keturunan. Kalau disamakan dengan artis Laila dan Mama mirip Yessi Gusman saat memainkan film “Gita Cinta dari SMA” bersama Rano Karno.

Kali pertama bertemu kami mengakrabkan diri sebagai saudara. Saling menanyakan hal-hal yang lumrah sebagai seorang yang baru saling mengenal. Saat itu Laila masih kuliah semester 2 Jurusan Matematika. Umurnya denganku tidak terpaut jauh. Hanya selang 4 tahun. Perawakannya tidak perlu dijelaskan ya, search saja Yessi Gusman Muda.

Aku memberanikan diri mengajaknya untuk bertamasya, mumpung lagi dikampung dan hari Raya pun sudah biasa menjadi momen tamasya. Tanpa ragu Laila bersedia pergi denganku. Ah, aku yang sedang jomblo saat itu tentu saja merasa senang. Walapun dia bersedia karena menganggap aku adalah pamannya.

Kami pergi ke daerah pegunungan yang ada permainan Out Bondnya. Si Banteng Besi yang kupinjam dari sepupuku membawa kami menuju bahagia. Laju roda dua itu sengaja kupelankan agar kami lebih lama di perjalanan. Padahal biasanya aku paling suka kebut-kebutan. Sampai pernah satu waktu saat SMA aku menabrak tukang bakpau.

Laila terlihat sangat senang sekali. Dia bilang ini kali pertamanya bermotor ke pegunungan. Sepanjang perjalanan ia seringkali berdiri di jok belakang merentangkan tangannya menghirup udara pegunungan yang sejuk. Di daerahnya tidak ada pegunungan. Kontur tanahnya datar dan rata. Jadi ini hal baru bagi Laila. Aku semakin semangat dibalik kemudi si Banteng Besi.

Kami memainkan berbagai permainan out door. Laila menantangku untuk mencoba permainan yang menguji adrenalin. Rupanya Laila sangat suka dengan uji nyali. Ah, tentu saja aku berlagak pura-pura berani. Padahal kakiku gemetar usai bermain. Hari itu adalah milik kami. Sepasang muda-mudi yang desang dimabuk asmara. Padahal mungkin hanya aku saja. Laila tidak merasakan hal yang sama.

Sayangnya Laila tidak bisa berlama-lama di kampung. Dia harus kembali ke kota asalnya. Sebelum dia kembali aku mengatakan bahwa aku suka padanya. Dan memintanya untuk menjadi kekasihku. Rautnya wajahnya berubah setelah mendengar pernyataanku. Sikapnya tiba-tiba berubah. Ah, ini memang terlalu cepat. Tapi apa boleh buat.

Setiap hari aku selalu mengiriminya pesan. Menanyakan kabarnya dan mengiriminya beberapa bait puisi. Jangankan merespon, membalas pun tidak.

Sebulan berlalu, semua pesanku tak pernah mendapat balasan darinya.

Saat itu aku sedang menjalankan KKN dari kampus di sebuah perkampungan daerah Bogor. Aceng ikut kegiatan itu selama satu bulan penuh. Meskipun dia bukan mahasiswa di kampusku tapi dia selalu ikut aku kemanapun aku pergi. Tentunya atas perstujuan anggota yang lain Aceng boleh ikut. Aku pun sudah meminta izin pada dosen pembimbing KKN dengan dalih supaya ada yang bantu untuk pekerjaan-pekerjaan berat.

Suatu malam aku, Aceng dan dua anggota KKN lain sedang berkunjung ke rumah Pak Lurah untuk membicarakan program yang akan kami laksanakan di Desa itu. Kami disuguhi kopi pahit cap mobil antiknya Babeh Sabeni di serial Si Doel Anak Sekolahan. Kopi murah yang mampu menyatukan warga sekitar. Tawaran basa-basi ngopi menjadi suatu simbol pemersatu dikampung ini.

Secangkir kopi yang semua pun tahu itu bukan kopi yang nikmat, tapi perannya begitu sakral dalam kehidupan sehari-hari. Malam itu kami berhasil menggenapkan cangkir kopi yang kami minum dari pagi berjumlah 8. Setiap kami berkunjung ke rumah RT dan RW kami selalu disuguhi kopi sebelum kami bisa menolak.

“Lama-lama kita bisa jadi pecandu kopi Cok.” Dalam perjalanan pulang dari rumah pak Lurah, Aceng terus menghitung berapa banyak gelas kopi yang sudah diminumnya sejak hari pertama kedatangan kami di kampung ini.

“Ya, biarlah asal jangan jadi pecandu cinta saja. Cukup kopi ini saja yang pahit. Kehidupan kita jangan.” Jawabku terkekeh. Aku merenungkan kalimat yang baru saja ku ucapkan. Dalam benakku aku berkata “Ah bicara tentang kopi, sama saja dengan bicara tentangmu Laila. Sama-sama tentang menikmati pahit yang disengaja.”

Tiba-tiba suara ponselku berdenting.

Triing…

Segera aku mengambilnya dari dalam saku celanaku yang sudah lusuh sebab dari pagi belum ganti. Aku melihat pesan masuk dengan nama ‘Laila’.

“Assalamu’alaikum Mang, apa kabar?”

Bukan main girangnya aku. Buru-buru kuperlihatkan pada Aceng. Dia sama terkejutnya. Sebulan mengiriminya pesan dan baru malam itu Laila membalasnya.

Pesan singkat dari Laila malam itu membuat kopi cap oplet yang biasa kami nikmati bergelas-gelas setiap hari menjadi terasa lebih manis dan lebih nikmati dari biasanya. Setiap saat kami berbalas pesan.

Malam itu bulan tengah mencapai puncak purnama. Secangkir kopi cap oplet dan bulan yang sedang bulat-bulatnya menemaniku merayakan bahagia. Di balkon lantai dua posko KKN kutelpon Laila. Kutanyakan padanya mengapa. Katanya, sudah tiga kali dia bermimpi tentangku. Aku selalu datang dalam tidurnya, mengenakan baju putih-putih dan berusaha menggapai tangannya. Cahaya menyeruak dan ada kehangatan saat tanganku diraihnya. Itulah jawaban Laila yang menjadi alasan dia bersedia menjadi kekasihku. Ah, betapa nikmarnya kopiku malam itu dan betapa indahnya bulan yang sedang kupandangi.

Bagian 3

4 bulan berlalu kisah percintaan kami yang dipisahkan samudra. Kami berencana untuk segera menikah. Suatu malam Laila mengabarkan bahwa kakak perempuannya Ichi akan ke Jakarta untuk menghadiri sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemendikbud.  Ichi memang pernah tinggal di kampung bersama Nenekku dulu sekali saat aku masih kecil. Kedekatanku dengan Laila membuat aku dan Ichi juga jadi dekat. Ichi memintaku untuk menjemputnya di bandara dan mengantarnya ke lokasi pelatihan.

it’s the biggest surprize I’ve ever had!” Sesampainya aku di bandara aku melihat Laila yang mengenakan kemeja coklat kotak-kotak. Ini benar-benar suatu kejutan. Pantas saja Ichi memaksaku untuk menjemputnya. Bertemulah kami sepasang kekasih yang terpisah Laut, Leuweung, Gunung.

Sebelum kepulangan Ichi dan Laila, mereka mengajaku untuk ikut. Katanya juga untuk  mempertemukan aku dengan kedua orang tuanya dan membicarakan rencana pernikahan kami. “Oh, Tuhan secepat inikah” Pikirku.

Ichi sebagai anak tertua mewakili Ibu dan Ayahnya menyampaikan maksud itu pada Mama. Dan tentu saja Mama merestuinya. Dimata Mama Laila adalah sosok gadis baik. Ah, lagipula Mama tak pernah mempermasalahkan dengan siapapun aku dekat. Satu pesannya yang selalu aku ingat adalah “Carilah perempuan yang bisa menyayangimu, dan menyayangi keluargamu.” Itulah yang selalu Mama katakan jika aku mengenalkan seorang gadis padanya.

Aceng memberikan semua uang yang dia punya untuk menambah bekal keberangkatanku. Ah, betapa beruntungnya aku punya sahabat sepertinya. Dan berangkatlah kami beberapa hari kemudian.

Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang rencana pernikahanku dengan Laila. Kami berceria tentang bagaimana nanti kami akan menjalani hidup. Ah, semua begitu indah. Kami berdua terlena sebagai sepasang kekasih yang akan menikah. Sebuah kehidupan sempurna yang aku dambakan.

Sesampainya disana rencana untuk membicarakan tentang pernikahanku dengan Laila yang seharusnya membahagiakan berubah menjadi momen yang menyakitkan sepanjang perjalanan hidupku.

Aku tak bisa menceritakan apa yang terjadi saat itu. Intinya kami tidak bisa menikah. Laila mengejarku ke terminal dan memintaku untuk membawanya kabur ke Jakarta.

“Bawa aku Mang! Aku tak peduli kehidupan kita nanti bagaimana. Aku mau hidup sama kamu Mang.” Suaranya parau, Laila tak bisa mempertahankan kekokohannya untuk tidak menangis. Airmatanya jatuh luruh begitu saja. Tatapannya penuh harap. Terus saja dia merajuk memintaku untuk membawanya.

“Bawa aku! Aku mohon Mang, aku ikut ke Jakarta.” Ah, wajahnya saat itu tak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.

“Aku tak keberatan hidup sederhana Mang. Asal bersamamu. Jadi kumohon!”

Dalam benakku “Sedalam itukah kau mencintaiku Laila.” Ingin sekali kuraih tangannya yang terlihat rapuh itu. Kudekap tubuhnya penuh cinta dan kubisikan “Ayo, kita pergi dan hidup bersama.” Tapi kalimat itu tak pernah ku ucapkan.

Dengan berat hati kukatakan padanya “Tidak! Kewajibanmu taat pada orang tuamu. Bukan padaku. Aku belum menjadi suamimu.”

Laila masih terisak dalam tangisnya. Seakan-akan ia tak rela aku pergi meninggalkannya. “Kita kawin lari Mang! Agar gugur semua kewajiban taatku pada mereka.” Tatapan mata yang penuh pengharapan. Perlahan Laila menundukan kepalanya.

Aku mengusap air matanya yang sedari tadi dibiarkan mengalir di pipinya dengan ujung kaos lengan panjang yang kukenakan. Kupegang kedua pundaknya. “Laila, dengarkan aku!” Laila mengangkat wajahnya perlahan. Mata kami saling bertemu. Masih kulihat pengharapan di matanya. “Kita punya Tuhan Laila. Jika kau menginginkan aku, mintalah aku padanya sebagaimana aku memintamu padanya. Jika itu baik untuk kita, biarlah Tuhan yang mengaturnya.”

Laila kembali menundukan kepalanya.

“Sekarang pulanglah. Mereka mengkhawatirkanmu.”

Laila menggelengkan kepalanya perlahan. Kepalanya masih tertunduk pilu. Tangannya kuat mencengkram lenganku. Tak dibiarkannya aku beranjak barang seinci pun.

“Laila, jika kau mencintaiku pulanglah sayang. Dan biarkan aku pulang!”

“Bagaimana aku akan membiarkanmu pulang sendiri, sedang begitu berat kesedihan yang tengah kau pikul Mang. Setidaknya izinkan aku pergi bersamamu, biar kita tanggung bersama.”

 “Sungguh aku tak apa Laila. Lihatlah apa aku terlihat bersedih dan menangis?” aku berusaha tersenyum di depannya.

“Baiklah Mang. Tapi kau harus berjanji! Kembalilah suatu saat nanti. Jemput aku ketika semuanya sudah memungkinkan. Berapapun lamanya aku akan menunggumu.”

Laila meraih lenganku yang sedari tadi digenggamnya. Mendekatkan tubuhnya padaku dan mendekapku dengan sangat erat. Saat itu aku merasakan firasat bahwa itu adalah pelukan terakhirnya.

Setelah memastikan Laila pulang. Aku segera masuk kedalam Bus yang akan mengantar kepulanganku. Bus yang akan menemaniku merayakan kesedihan dalam 3 hari kedepan. Langkah pertama kunaiki bus aku sudah tak kuat membendungnya. Airmataku jatuh luruh tak tertahan lagi. Tubuhku gontai mencari nomor kursi tempat dudukku. Tak kupedulikan reaksi para penumpang lain yang melihat banjir air mataku. Setelah menemukannya aku segera duduk, menyandarkan kepalaku dan mengusap wajah menyeka mataku yang sembab.

“Ma, aku pulang. Calon menantumu gagal kubawa.”

Bagian 4

Exit toll Kopo. Arloji seiko yang sudah retak kacanya 6 tahun silam menujukan pukul 11 lewat 17 menit.

“Eh Ceng, kita kan mau kerumahnya. Masa nggak bawa apa-apa?”

“Yaudah mau bawa apa? kita berhenti dulu sekalian cari tempat buat shalat Dzuhur. Biar nyalse nanti disana.”

“Just turn left Ceng! Miko aja.” salah satu mall yang ada di sisi jalan tol Purbaleunyi.

Tanpa kata lagi Aceng langsung membanting stir memasuki area parkir mall.

“Tapi bawa apa ya Ceng?”

“Kau punya uang Cok?”

“Ada tapi nggak banyak.”

Sambil menunjuk ke salah satu counter makanan, Aceng memberi isyarat untuk memilih itu.

Donuts?” aku mengernyitkan dahi.

Why Not? Its quite worth it.”

Ok, I’ll take your advice.”

Kami memutuskan untuk membeli sekotak donat. Donat yang satu ini memang merupakan donat kesukaan kami. Semasa perjuangan kami di ciputat beberapa tahun lalu seringkali kami membeli donat ini sepulang dari pekerjaan yang melelahkan. Ah sungguh konyol. Donat ini menjadi saksi sejarah yang akan terus terkenang.

Berbekal sekotak donat, kami melanjutkan perjalanan seusai shalat Dzuhur. Jalanan bisa dikatakan cukup lancar mengingat hari itu adalah hari Rabu. Ah, kalau weekend sudah pasti jalur KoKaSo ini akan sangat macet dipenuhi para pelancong lokal maupun impor dari Jakarta dan sekitarnya yang akan ke Ciwidey. Berbekal GPS yang tersemat di ponsel tidak begitu sulit menemukan alamat rumahnya. 40 menit kemudian kami telah sampai di sebuah gerbang komplek bertuliskan “Banjaraharja” pada gapura.

Tak lama dari situ kami menemukan Nomor rumah yang kami tuju. “Ceng, ini rumahnya!” aku menunjuk ke sebelah kiri jalan. “Just stop here Ceng!.” Pintaku.

Kami berdua turun dari mobil dan segera mengucapkan salam didepan pagar yang bertuliskan J.3. Seorang Ibu-ibu dengan umur kira-kira 40 tahun membalas salam kami. Dan menghampiri kami untuk membukakan pintu.

“Maaf bu, benar ini rumahnya Icha?” Ibu itu terlihat agak bingung dengan pertanyaanku. Dan sebelum dia menjawab aku ralat pertanyaanku segera. “Maksud saya Annisa.”

“oh iya, mangga kalebet.” Jawabnya sembari menggeser pagar rumah.

Aku dan Aceng saling menyikut. Setengah berbisik aku bilang. “Ceng, Ibunya!”

“Mana kutahu Cok.”

Tanpa pikir panjang kami berdua menyalami Ibu itu. beliau mempersilahkan kami masuk dan mempersilahkan kami duduk di kursi ruang depan. Sementara itu beliau langsung kembali ke belakang.

Lama kami menunggu sang tuan rumah tak jua menampakan diri. Kami bicara berbisik-bisik saling mempertanyakan situasi. Sesekali aku mengedarkan pandangan ke tiap penjuru rumah. Aceng menyikutku memberikan isyarat untuk berhenti memperhatikan sekitar. Aku segera paham dan langsung menundukan kepala.

Sekitar 10 menit kami menunggu seorang Ibu-ibu yang lebih tua dan lebih rapi dari Ibu-ibu tadi datang menghampiri kami. Kami pun segera bangkit dan menyalaminya. Dalam benakku, “Ah ini pasti ibunya, terus yang tadi siapa ya? Masa bodolah.” Segera kutepis.

“Jadi ini?” Ibu itu menunjuk kami berdua dengan maksud menanyakan siapa kami.

Aku segera memperkenalkan diri dan juga. “Saya Coki Bu, ini Aceng.”

“Jadi ada maksud apa datang kesini? Ibu kaget aja tiba-tiba tadi Icha bilang mau ada yang datang kesini.”

“Ah, saya mau silaturahmi saja Bu.”  Aku menceritakan bahwa sebenarnya kami janjian bertemu di dekat kampus. Tapi berhubung Icha pulang ya jadi sekalian kerumahnya. Aku pun bilang akan ke Garut untuk menghadiri pernikahan temanku.

“Oh iya ini Bu sekedar buah tangan.” Aceng menyodorkan sekotak donat yang kami beli tadi dijalan.

“Duh, segala repot-repot. Terimakasih ya. De, ini bawa ke belakang!” seorang anak berusia sekitar 12 tahun datang menghampiri dan menerima kotak donat dari tangan Ibunya.

“Nak Coki sudah berapa lama kenal Icha?”

“Beberapa bulan lalu Bu, di acara reunian sekolah.”

“Oh, jadi nak Coki satu sekolah dulu sama Icha?” Ibu Icha manggut –manggut.

Aku membalasnya dengan senyum lalu kubilang. “Iya Bu, tapi baru sekali ketemu pas reuni.”

Kami bertiga mengobrol ringan, Ibu Icha lebih banyak bertanya tentang kami berdua. Kegiatan kami, pekerjaan kami dan tentunya semua hal ditanyakannya sangat detail. Kami yang sudah terbiasa berbicara dengan orang-orang yang lebih tua mampu mengimbangi pembicaraan Ibu Icha. Begitupun Ibu Icha berusaha mensejajarkan pembicaraan dengan kami yang lebih muda. Tak jarang kami bertiga tertawa bersama dengan cerita-cerita kami.

“Jadi sebenarnya maksud ananda datang kesini sebenarnya apa? Ibu nggak yakin cuma silaturahim aja.” tiba-tiba pertanyaan itu muncul dan membuat suasana yang semula kondusif menjadi hening. Aceng menyikut ku. Aku menginjak kakinya memberikan isyarat untuk diam. Saat itu aku bingung mau jawab apa. Ibunnya Icha masih menunggu jawaban dari kami dan melihat kami satu persatu.

“Begini Bu…” belum sempat aku memberikan jawab. Sayup-sayup suara adzan ashar terdengar dari Mesjid sekitar. Aku langsung inisiatif mengalihkan jawabanku. “Jadi begini bu, kita pamit izin shalat Ashar ke mesjid dulu.”

Ibunya Icha terkekeh dengan gelagatku. Dia pun sadar bahwa itu bukan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya. Tapi menyadari kewajiban untuk shalat Ibunya Icha mempersilahkan kami berdua untuk pergi ke Mesjid.

“Gimana Ceng?” selesai shalat kami mengadakan rapat di teras mesjid.

“Yasudah jalan lah. Itu udah lampu hijau Cok. Kau lihat, Ibunya bersahaja, ramah dan bersahabat. Padahal kita baru kenal. Icha juga nggak keluar sejak kita datang dia di kamar saja.”

“What are you mean dude?”

Open your mind Cok! This is an opportunity. Bukankah gadis sepertinya yang selama ini kau cari? Cukup katakan kau mau Anaknya.”

“Isn’t that too hasty?”

“No. This is a chance. You have to take it!”

“Aku baru saja mengenalnya Ceng! Bahkan rasa suka pun belum ada.”

It’s not a big deal Cok! Kan nggak mesti hari ini juga menikah. Apapun bisa terjadi kedepannya. Kita lihat saja, jika jalannya mulus berarti memang dia yang terbaik. Kalaupun sampai tidak jadi berarti Tuhan punya yang lebih baik.”

“Sejak kapan kau jadi sebijak ini?”

Aceng tertawa kecil. “Pelajaran yang mendewasakan kita Cok. Tapi pastikan ada ketertarikan walaupun sedikit saja. kita tak bisa menikahi perempuan yang tidak kita sukai.”

Aku mengangguk-angguk kecil tanda setuju dengan apa yang dikatakan Aceng.

“Okay, I’ll take it. Bismillah.”

“Tapi ingat! Apapun jawabannya kau harus terima Cok.”

Hasil rapat sudah didapat. Kami beradu tos sebagai tanda sepakat. Aku akan bicara, sekalipun tak ada persiapan bagaimana memilah kata dan apa yang harus aku sampaikan tapi Bismillah saja.

Bagian 5

“Bu, jangankan deposito di bank, Celengan ayam saja saya enggak punya. Saya hanya punya mimpi dan tekad untuk mewujudkannya. Jika ibu berkenan, bolehkah saya meminta putri sulung Ibu untuk menemani saya meraih semua mimpi itu.”

Aku tak menyangka bisa berbicara seperti itu. Kalimat demi kalimat keluar begitu saja dari mulutku. Aceng tertegun mendengarkan semua ucapanku barusan. Begitupun dengan Ibu itu yang berusaha mencerna setiap makna dari apa yang barusaja didengarnya. Sedangkan Icha, ah gadis itu bahkan tidak menampakkan dirinya sejak aku tiba dirumah ini.

“Apapun jawabannya kau harus terima Cok!” itulah yang dikatakan Aceng saat berdiskusi di Mesjid selepas shalat Ashar. Dan kata-katanya kini bergaung dalam pikiranku. Apakah aku akan diterima, atau Ibu itu akan mengusirku seperti yang pernah terjadi padaku dua tahun silam. Aku menunggu jawabanmu Bu!

Facebook
Twitter
LinkedIn

Call Me

+62 851-5533-5575

Contact Me

info@ganjarhaq.com

Proudly Designed By Ganjar Haq